Your Ads Here

KH. Abdul Karim (Mbah Manab), Sang Pendiri Lirboyo yang Tawadhu dan Penuh Karomah

Unveiling the Crisis of Plastic Pollution: Analyzing Its Profound Impact on the Environment

Siapa yang tak kenal Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri? Salah satu institusi pendidikan Islam tertua dan terbesar di Indonesia ini telah melahirkan ribuan ulama dan pemimpin. Namun, di balik kejayaan Lirboyo, ada satu nama yang wajib kita kenang: KH. Abdul Karim. Beliau lebih akrab dipanggil Mbah Manab.

KH. Abdul Karim bukan hanya pendiri sebuah pesantren, tetapi juga sosok pejuang sejati. Kisah hidupnya adalah cerminan dari kesederhanaan, ketekunan dalam menuntut ilmu, dan keikhlasan yang luar biasa. Bayangkan, beliau memulai semuanya dari nol, di sebuah desa yang kala itu dikenal angker dan rawan kejahatan. Tanpa modal kekayaan, hanya bermodalkan ilmu dan keberanian spiritual!

Dari Magelang, beliau mengembara ke berbagai pesantren terkemuka, berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syaikhona Kholil Bangkalan dan KH. Hasyim Asy'ari Tebuireng. Pengembaraan ilmu inilah yang membentuk beliau menjadi seorang alim allamah (ulama yang sangat berilmu) yang tawadhu (rendah hati) luar biasa.

Yuk, kita telusuri bersama jejak langkah KH. Abdul Karim, sang muassis (pendiri) Lirboyo, dari masa kecilnya hingga warisan abadi yang beliau tinggalkan.

Biodata Singkat: Jejak Awal dari Magelang

Lahir dengan nama kecil yang sederhana, perjalanan hidup KH. Abdul Karim adalah bukti bahwa keturunan tidak selalu menjadi penentu, melainkan ketekunan dan ilmu.

  • Nama Kecil: Manab (atau Kiai Manab)
  • Nama Lengkap Setelah Haji: KH. Abdul Karim
  • Tempat, Tanggal Lahir: Dukuh Banar, Desa Diyangan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, sekitar tahun 1856 M.
  • Orang Tua: Kiai Abdur Rahim (ayah) dan Nyai Salamah (ibu).
  • Wafat: Yogyakarta, 21 Ramadhan 1374 H / 1954 M.
  • Guru-guru Penting:
    • Syaikhona Kholil Bangkalan (belajar selama 23 tahun)
    • Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari (Tebuireng, Jombang)
  • Pendiri: Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (tahun 1910 M).

KH. Abdul Karim lahir dari keluarga petani yang sederhana. Beliau percaya bahwa keturunan sejati adalah yang dihasilkan oleh generasi berikutnya, bukan yang sebelumnya. Inilah yang mendorongnya untuk merantau jauh dan meninggalkan zona nyaman demi mencari ilmu.

Pengembaraan Ilmu: Menuntut Ilmu Selama Puluhan Tahun

Jika ada satu kata yang mendefinisikan KH. Abdul Karim, itu adalah ketekunan. Beliau menghabiskan puluhan tahun hidupnya untuk belajar, sebuah perjalanan yang jarang ditempuh oleh orang biasa.

Dari Pesantren ke Pesantren

Sejak usia 14 tahun, Mbah Manab (nama kecil KH. Abdul Karim) sudah meninggalkan kampung halaman. Beliau mengembara bersama kakaknya, Kiai Aliman. Pesantren-pesantren yang disinggahi antara lain:

  • Pesantren Babadan, Gurah, Kediri (tempat belajar ilmu amaliah dasar).
  • Pesantren Cepoko, Nganjuk (tinggal selama kurang lebih 6 tahun).
  • Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk (memperdalam Al-Qur'an).

Beliau tidak pernah puas. Setelah menamatkan ilmu di berbagai pesantren, beliau kemudian melanjutkan ke madrasah para wali: Pesantren Demangan, Bangkalan, yang diasuh oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.

Berguru pada Dua Maestro Nusantara

Di Bangkalan, KH. Abdul Karim nyantri selama kurang lebih 23 tahun. Waktu yang sangat panjang ini menunjukkan kedalaman ilmunya. Beliau tidak hanya belajar, tetapi juga melatih kesabaran dan ketawadhu'an di bawah bimbingan guru yang diakui sebagai waliyullah.

Setelah itu, beliau pindah ke Pesantren Tebuireng, Jombang, untuk berguru kepada sahabat karibnya semasa di Bangkalan, yaitu KH. Hasyim Asy'ari. Di Tebuireng, beliau belajar selama kurang lebih 5 tahun. Kedekatan dengan dua ulama besar ini menegaskan posisi beliau sebagai ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu agama.

Perjuangan di Lirboyo: Menaklukkan Desa Angker

Titik balik dalam sejarah KH. Abdul Karim dan peradaban Islam di Kediri adalah keputusannya untuk menetap di Lirboyo, sebuah daerah yang saat itu terkenal "wingit" (angker) dan menjadi sarang para perampok (bromocorah).

Awal Mula Pendirian Pesantren (1910 M)

Pada tahun 1908, KH. Hasyim Asy'ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan Nyai Dlomroh (Siti Khodijah) binti KH. Sholeh dari Banjarmlati, Kediri. Setelah menikah, KH. Sholeh, ayah mertuanya, melihat kondisi menantunya yang sangat sederhana namun alim, lantas berkeinginan untuk membelikan sebidang tanah.

Tanah yang dibelikan adalah di Desa Lirboyo, sebuah lokasi yang disarankan oleh Lurah setempat yang sudah tidak sanggup menertibkan warganya yang kurang bimbingan spiritual. Pada tahun 1910 M, KH. Abdul Karim pindah dan memulai segalanya.

Berbekal Adzan dan Ketabahan

Kedatangan Mbah Manab di Lirboyo tidak disambut baik. Ia kerap diteror oleh penduduk setempat. Namun, dengan ketabahannya, beliau menenangkan desa angker itu hanya dengan berbekal adzan. Dikisahkan, setelah Kiai Karim melantunkan adzan, Desa Lirboyo bebas dari gangguan makhluk gaib.

Santri pertama beliau adalah seorang pemuda dari Madiun bernama Umar. Dari satu santri, beliau terus mengembangkan pengajian di musholla sederhana yang beliau dirikan. Tiga tahun kemudian, tahun 1913 M, didirikanlah Masjid Lawang Songo, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajian Lirboyo. Berkat kegigihan dan kesabarannya, Lirboyo kini menjadi salah satu benteng pendidikan Islam terbesar.

Keteladanan dan Karomah: Zuhud dan Ikhlas

KH. Abdul Karim dikenal sebagai sosok ulama yang sangat zuhud (menjauhi kemewahan dunia) dan memiliki tingkat ketawadhu'an yang sangat tinggi. Kisah-kisah tentang kesederhanaan dan karomahnya masih diceritakan hingga kini.

Zuhud dalam Kehidupan Sehari-hari

Ada kisah populer tentang seorang pemuda kaya yang datang untuk mondok di Lirboyo. Pemuda itu berpapasan dengan seorang kiai sepuh berpakaian sederhana di gerbang pondok. Dengan sombong, pemuda itu meminta kiai tersebut membawakan kopernya yang berat. Si kiai dengan rendah hati mengiyakan dan mengantarnya hingga ke ndalem (rumah kiai).

Betapa kagetnya pemuda itu saat tahu bahwa orang sederhana yang dimintai tolong membawakan koper itu adalah KH. Abdul Karim sendiri! Kisah ini menunjukkan betapa Mbah Manab tidak pernah menampakkan kedudukannya sebagai seorang kiai besar.

Karomah dan Peran Kontra PKI

Salah satu karomah KH. Abdul Karim yang terkenal adalah kemampuannya melatih santri hingga bisa mendengar suara beliau dari jarak 5 km. Ini bukan sekadar kesaktian, tetapi buah dari latihan spiritual (riyadlah) yang tiada henti.

Dalam sejarah perjuangan, KH. Abdul Karim tidak hanya berdiam diri. Beliau mengirimkan santri-santrinya ke Pertempuran Surabaya (1945) dan memainkan peran sentral dalam perlawanan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kediri dan sekitarnya. Saat Agresi Militer Belanda II (1949), beliau tetap teguh berzikir di masjid Lirboyo, menolak mengungsi, dan atas izin Allah, beliau dan pesantrennya dijaga dari gangguan Belanda.

Warisan Abadi dan Jejak Keturunan

Meskipun KH. Abdul Karim wafat pada tahun 1954, warisan yang beliau tinggalkan jauh melampaui usianya. Lirboyo terus berkembang pesat di bawah kepemimpinan keturunan dan murid-muridnya.

Lirboyo, Pusat Kajian Ilmu Salaf

Hingga kini, Pondok Pesantren Lirboyo tetap teguh sebagai pesantren salaf (tradisional) yang fokus pada kajian kitab kuning (kitab-kitab klasik) dalam berbagai disiplin ilmu agama, seperti fikih, nahwu, sharaf, dan tafsir. Ribuan santri dari seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara masih berduyun-duyun ke Lirboyo untuk menimba ilmu, melanjutkan tradisi yang dimulai oleh Mbah Manab.

Estafet Kepemimpinan

Setelah wafat, kepemimpinan dan pengasuhan Lirboyo diteruskan oleh para Dzuriyah (keturunan) dan murid-murid beliau, termasuk menantu beliau yang juga ulama besar, KH. Mahrus Aly. Di bawah kepemimpinan generasi penerusnya, Lirboyo tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga beradaptasi dengan mendirikan lembaga pendidikan modern seperti Universitas Islam Tribakti (UIT) Lirboyo.

Banyak ulama besar di Indonesia saat ini memiliki sanad keilmuan yang terhubung langsung dengan KH. Abdul Karim, membuktikan bahwa beliau adalah salah satu guru spiritual bangsa yang memiliki pengaruh tak terhitung.

Kesimpulan: Teladan Istiqomah dan Keikhlasan

KH. Abdul Karim atau Mbah Manab adalah ikon dari istiqomah (keteguhan) dan tawadhu (kerendahan hati). Beliau mengajarkan bahwa kekayaan sejati seorang manusia terletak pada ilmu dan keikhlasan, bukan pada harta benda atau jabatan.

Perjuangannya mendirikan Lirboyo di tengah kesulitan dan tantangan adalah monumen nyata dari keberanian spiritual. Meskipun kita tidak bisa bertemu langsung dengan beliau (karena beliau sudah wafat pada tahun 1954), semangat, ajaran, dan keteladanan KH. Abdul Karim terus hidup dalam setiap jengkal Pondok Pesantren Lirboyo. Beliau adalah agung yang warisannya akan terus menjadi penerang bagi umat hingga akhir zaman.

FAQ (Frequently Asked Questions) Tentang KH. Abdul Karim

Siapa KH. Abdul Karim?

KH. Abdul Karim, yang akrab disapa Mbah Manab, adalah ulama besar dari Magelang yang merupakan pendiri dari Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur.

Kapan KH. Abdul Karim mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo?

Beliau mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo pada tahun 1910 M.

Siapa saja guru-guru KH. Abdul Karim yang terkenal?

Guru beliau yang paling terkenal adalah Syaikhona Kholil Bangkalan (tempat beliau menimba ilmu selama 23 tahun) dan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari (pendiri Tebuireng).

Apa nama kecil dari KH. Abdul Karim?

Nama kecil beliau adalah Manab, yang kemudian berganti menjadi Abdul Karim setelah beliau menunaikan ibadah haji.

Kapan KH. Abdul Karim wafat?

Beliau wafat pada tahun 1954 M dan dimakamkan di belakang Masjid Lawang Songo, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Type above and press Enter to search.

Your Ads Here